Selasa, 09 September 2008

'Pencinta Alam' merupakan dua ikon dan simbol bagi suatu kebebasan dan kemerdekaan berpikir atau cara bebas menyampaikan pendapat. Kedua simbol tersebut diperlukan bagi aktivis mahasiswa, demi bisa keluar sejenak dari kesumpekan dominasi militer dan hegemoni kampus. Dominasi dan hegemoni mewabah secara endemik di seluruh perguruan tinggi negeri dan swasta. Mahasiswa banyak yang mengakrabi pula berbagai pemikiran 'kekiri-kirian'. Suatu pemikiran yang memang memberi insipirasi utama bagi cara berpikir yang bebas dan radikal. Meskipun Gie bukan sejenis tokoh penyebar aliran kekiri-kirian di Indonesia. Tapi aktivitasnya selama menjadi mahasiswa dan perintis Mapala UI, pasti seluruhnya kekiri-kirian. Gie memang tak mematok ideologi pribadinya pada aliran atau tokoh yang bisa diklassifikasikan sebagai ideologi kiri (left-ideology), Kiri Baru (New Left) dan 'kekiri-kirian' (Lefties) lainnya. Ia berkarakter sebagai seorang pemikir muda yang bebas dan `berpikir tanpa syarat'.

Pemikirannya tak bersangkut erat dengan ideologi atau isme apapun juga. Gie merupakan sosok mahasiswa yang berhasil bebas dari cengkeraman kuku beracun Orde Lama (Orde Lama). Orla merupakan periode kekuasaan yang korup dan manipulatif. Penentangannya pada Orla, kemudian disebut periode aktifis 66. Ia memang akhirnya menjadi salah seorang yang ikut menjadi tokoh yang membentuk Orde Baru. Untuk hal kedua ini, merupakan hal yang sangat disesalinya secara mendalam. Bahkan penyesalan itu melampaui tingginya Semeru . Mahasiswa yang ikut bersamanya berdemonstrasi dalam menentang Orla. Malah menjadi penindas dan koruptor baru yang lebih ganas dari zaman Orla. Bekas kawan-kawannya lalu dijadikan sebagai musuh baru secara pribadi dan ideologis. Mereka kemudian menjadi obyek alternatif perlawanan Gie.

Perlawanan idealistik ini nyaris tanpa jeda dan istrahat sedikitpun juga. Itu semua dilakukannya, hingga akhirnya ia harus beristrahat panjang selamanya. Ketika itu ia menghirup hawa gas beracun di gunung Semeru pada 16 Desember 1969. "Ia berkumpul abadi bersama kawan sejatinya yakni alam bebas dan suasana gunung". Demikian ujar Herman O. Lantang, sobat karibnya di Mapala UI. Kematiannya terjadi sehari menjelang ulang tahun ke 27. Ia memang mati muda secara fisik. Tapi ia tetap menjadi ikon bagi 'hidup kiri' dan bukan sebagai simbol 'mati kiri'. Ia mati tapi berhasil menghidupkan pemikiran kekiri-kirian mahasiswa di berbagai era hingga di 2005 ini. Kematiannya tidaklah berarti bahwa seorang aktivis harus pula 'mati kiri'. Ia hanya beristrahat dalam kiri damai (An activist never died in left. He just rest in left peace)