Sabtu, 13 Desember 2008

Rute Pendakian Gunung Arjuna

Rute Pendakian

Gunung Arjuna dapat didaki dan berhagai arah; arah Utara (Tretes) melalui Gunung Welirang, dan arah Timur (Lawang) dan dari arah Barat (Batu-Selecta).

RUTE TRANSPORTASI
RUTE ANGKUTAN DARI SURABAYA:
Angkutan mulai dari Surabaya (terminal Bungurasih/Purbaya)
Naik bis jurusan Malang dari bungurasih (turun di Pandaan).
Naik angkutan lokal dari terminal Pandaan turun di Tretes (turun hotel Tanjung).
Ijin pendakian pada posko (jalan kurang lebih 30 M dari hotel tanjung) Untuk Arjuna.

RUTE PENDAKIAN DARI TRETES:
Tretes merupakan tempat Wisata dan Hutan Wisata serta terdapat air terjun yang indah yaitu Air terjun Kakek Bodo. Di Tretes banyak tersedia hotel maupun Losmen, hawanya sejuk dan merupakan tempat peristirahatan yang nyaman. Dan Pos PHPA Tretes kita dapat langsung rnendaki Gunung Welirang dan juga Gunung Arjuna.

Setelah berjalan antara 4 - 5 jam ke arah barat daya dari Tretes kita dapat berhenti dan bermalam di pondok tempat orang mencari bijih belerang, disini terdapat air yang cukup melimpah untuk memasak atau mandi, Hampir setiap hari sekitar 20 -- 30 orang buruh mencari dan membawa batu belerang ke Tretes. Ke esokan paginya pendakian dapat dilanjutkan ke puncak Welirang atau berbelok kita langsung kearah Gunung Arjuna. Perjalanan dari pondok sampai ke puncak Gunung Welirang, akan melewati hutan Cemara yang jalannya berbatu. Setelah berjalan 3 jam kita akan sampai di puncak Gunung Welirang.

Di bawah puncak Welirang ada sebuah kawah yang menyemburkan gas belerang. Perjalanan dari Tretes sampai ke puncak Welirang memakan waktu 7 - 8 jam. Bila kita akan melanjutkan penjalanan menuju Gunung Arjuna maka setelah sesampai di puncak Gunung Welirang kita berjalan turun ± 10 menit tepatnya ke arah selatan. Hutan yang dilalui adalah hutan cemara dengan melewati sebuah jurang dan pinggiran Gunung Kembar I dan Gunug Kembar II. Setelah berjalan 6 - 7 jam kita akan sampai di puncak Arjuna. Tetapi sebelumnya kita akan melewati tempat yang dinaniakan “Pasar Dieng”, ketinggiannya hampir sama dengan puncak Gunung Arjuna dan terdapat batuyang sebagian tersusun rapi seperti pagar dan tanahnya rata agak luas.

Dari sini untuk ke Puncak G. Arjuna hanya memakan waktu ± 10 menit. Untuk mencapai Gunung Arjuna dan Gunung Welirang dibutuhkan waktu 5 sampai 6 jam. Puncak Gunung Arjuna anginnya sangat kencang dan suhunya antara 5-10 derajat celcius. Disini kita dapat menikmati suatu Panorama yang sangat indah terutama bila malam hari, kita dapat melihat ke bawah, kota-kota seperti Surabaya, Malang, Batu, Pasuruan. serta laut utara dengan kerlipan lampu- lampu kapal. Puncak G. Arjuna disebut juga dengan Puncak ‘Ogal-Agil’ atau ‘Puncak Ringgit.

Disekitar puncak bisa mendirikan tenda untuk bermalam. Rute turun dapat ke kota Lawang atau ke arah timur dengan melewati Hutan Cernara, Hutan tropis dan perdu. setelah itu kita akan melewati Perkebunan Teh Wonosari bagian utara. Turun ke arah Lawang lebih dekat dan menyingkat waktu daripada kembali ke arah Gunung Welirang/Tretes. Perjalanan turun ke arah Lawang kurang lebih 6 jam.

RUTE PENDAKIAN DARI LAWANG:
Mendaki Gunug Arjuno dari kota Lawang merupakan awal pendakian yang praktis karena kota Lawang mudah sekali kita tempuh baik dan arah Surabaya maupun Malang, selain itu Puncak Gunung Arjuno dapat langsung kita tuju dan arah ini. Bila kita menginginkan mendaki dari kota Lawang, dari arah Surabaya kita naik bus jurusan Malang dan turun di Lawang (kira-kira 76 Km) dan bila dari Malang, dari Terminal Arjosari kita naik bus menuju Lawang dengan jarak 18 Km. Dan Lawang kita naik kendaraan umum (angkutan desa) menuju desa Wonorejo sejauh 13 km.

Pendakian ke puncak dimulai dari desa ini menuju ke Perkebunan Teh desa Wonosari sejauh 3 km. Di sini kita melapor pada petugas PHPA dan juga meminta ijin pendakian, persediaan air kita persiapkan juga di desa terakhir ini. Dari desa Wonosari terus berjalan dan melewati kebun teh Wonosari serta terus naik selama 3 - 4 jam perjalanan kita akan sampai di “Oro - Oro Ombo” yang merupakan tempat berkemah. Dari ”Oro-oro Ombo” menuju ke puncak dibutuhkan waktu 6-7 jam perjalanan dengan melewati hutan lebat yang disebut hutan “LaliJiwo” untuk menuju puncak terakhir ini. Setelah kita melewati Hutan Lali Jiwo kita akan melalui padang rumput yang jalannva menanjak (curam) sekali.

Mendekati puncak, kita akan berjalan melewati batu-batu yang sangat banyak dan menjumpai tanaman yang sangat indah setelah itu kita akan mencapai puncak Gunung Arjuna. Rute pendakian lainnya yaitu dari kota Batu lewat Selecta yang terletak di sebelah Barat Gunung Welirang. Kota Batu merupakan tempat wisata yang memiliki sumber air hangat dari kaki Gunung Welirang dan keadaannva tidak berbeda jauh dengan Tretes.

Dari arah Kediri atau Malang untuk menuju Batu kita dapat naik bus/Colt, selanjutnya perjalanan dari Batu menuju Selecta menggunakan Colt (angkutan pedesaan). Selecta salah satu tempat wisata yang ada di kota Batu dengan ketinggian 1.200 m dari permukaan laut. Setelah tiba di Selecta kita dapat bermalam haik di Hotel maupun Losmen. Besok paginya dengan colt, kita menuju desa Kebonsari.

Di desa ini kita harus menyiapkan air secukupnya untuk perjalanan ke puncak dan kembalinya. Kita memulai pendakian dengan melewati ladang sayur-sayuran dan jalan setapak menuju ke arah timur laut dan terus naik melewati hutan tropika, dalam perjalanan ini samar-samar akan terlihat puncak Arjuna. Mendaki selama 5 - 6 jam akan mengantarkan kita pada punggungan gunung yang menghubungkan Puncak Gunung Welirang dan Gunung Arjuno, tepatnya sebelah tenggara Gunung Kembar I. Kita masih harus menempuh perjalanan 1 - 2 jam lagi untuk menujupuncak Gunung Welirang ke arah kiri atau Gunung Arjuno ke arah kanan selama 4 - 5 jam.

Selasa, 09 September 2008

'Pencinta Alam' merupakan dua ikon dan simbol bagi suatu kebebasan dan kemerdekaan berpikir atau cara bebas menyampaikan pendapat. Kedua simbol tersebut diperlukan bagi aktivis mahasiswa, demi bisa keluar sejenak dari kesumpekan dominasi militer dan hegemoni kampus. Dominasi dan hegemoni mewabah secara endemik di seluruh perguruan tinggi negeri dan swasta. Mahasiswa banyak yang mengakrabi pula berbagai pemikiran 'kekiri-kirian'. Suatu pemikiran yang memang memberi insipirasi utama bagi cara berpikir yang bebas dan radikal. Meskipun Gie bukan sejenis tokoh penyebar aliran kekiri-kirian di Indonesia. Tapi aktivitasnya selama menjadi mahasiswa dan perintis Mapala UI, pasti seluruhnya kekiri-kirian. Gie memang tak mematok ideologi pribadinya pada aliran atau tokoh yang bisa diklassifikasikan sebagai ideologi kiri (left-ideology), Kiri Baru (New Left) dan 'kekiri-kirian' (Lefties) lainnya. Ia berkarakter sebagai seorang pemikir muda yang bebas dan `berpikir tanpa syarat'.

Pemikirannya tak bersangkut erat dengan ideologi atau isme apapun juga. Gie merupakan sosok mahasiswa yang berhasil bebas dari cengkeraman kuku beracun Orde Lama (Orde Lama). Orla merupakan periode kekuasaan yang korup dan manipulatif. Penentangannya pada Orla, kemudian disebut periode aktifis 66. Ia memang akhirnya menjadi salah seorang yang ikut menjadi tokoh yang membentuk Orde Baru. Untuk hal kedua ini, merupakan hal yang sangat disesalinya secara mendalam. Bahkan penyesalan itu melampaui tingginya Semeru . Mahasiswa yang ikut bersamanya berdemonstrasi dalam menentang Orla. Malah menjadi penindas dan koruptor baru yang lebih ganas dari zaman Orla. Bekas kawan-kawannya lalu dijadikan sebagai musuh baru secara pribadi dan ideologis. Mereka kemudian menjadi obyek alternatif perlawanan Gie.

Perlawanan idealistik ini nyaris tanpa jeda dan istrahat sedikitpun juga. Itu semua dilakukannya, hingga akhirnya ia harus beristrahat panjang selamanya. Ketika itu ia menghirup hawa gas beracun di gunung Semeru pada 16 Desember 1969. "Ia berkumpul abadi bersama kawan sejatinya yakni alam bebas dan suasana gunung". Demikian ujar Herman O. Lantang, sobat karibnya di Mapala UI. Kematiannya terjadi sehari menjelang ulang tahun ke 27. Ia memang mati muda secara fisik. Tapi ia tetap menjadi ikon bagi 'hidup kiri' dan bukan sebagai simbol 'mati kiri'. Ia mati tapi berhasil menghidupkan pemikiran kekiri-kirian mahasiswa di berbagai era hingga di 2005 ini. Kematiannya tidaklah berarti bahwa seorang aktivis harus pula 'mati kiri'. Ia hanya beristrahat dalam kiri damai (An activist never died in left. He just rest in left peace)